Bahan Referensi Topik ini :
1. Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor : P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak; Download
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan; Download
Sidang pembaca yang Budiman,
Peraturan Menteri Kehutanan RI. Nomor P.30/Menhut-II/2012, telah diterbitkan dan ditetapkan oleh Kementrian Kehutanan RI pada tanggal 17 Juli 2012. Setelah dicermati, secara umum memang terdapat kemajuan berarti dalam mekanisme penatausahaan hasil hutan hak sebagaimana diatur dalam Permenhut tersebut. Namun ada beberapa hal yang cukup mengganjal dan menurut pendapat kami bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu berkaitan dengan "keistimewaan" yang dimiliki oleh kayu dari hutan hak sebagaimana diatur dalam Permenhut tersebut, terutama pada Pasal 19 ayat (2), yang tertulis sebagai berikut :
Ayat (2) :
"Dalam hal pengangkutan hasil hutan hak tidak dilengkapi dokumen Nota Angkutan atau Nota Angkutan Penggunaan Sendiri atau SKAU, maka terhadap hasil hutan tersebut dilakukan pelacakan terhadap kebenaran atau asal usul hasil hutan hak".
Selanjutnya berkaitan dengan ayat (2) tersebut, diatur sebagai berikut:
Ayat (3) :
"Pelacakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sepanjang asal usul hasil hutan dapat dibuktikan keabsahannya, dikenakan sanksi administratif berupa pembinaan melalui teguran/peringatan tertulis dari Kepala Dinas Kabupaten/Kota berdasar laporan petugas kehutanan yang menerima Nota Angkutan atau Nota Angkutan Penggunaan Sendiri atau SKAU di tempat tujuan".
Ayat (4) :
"Apabila berdasarkan hasil pelacakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terbukti bukan berasal dari lahan yang ditunjukkan oleh pemilik/pengangkut hasil hutan, maka dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku".
Berkaitan dengan Ayat (2) tersebut di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa diperoleh :
1. Adanya Ayat (2) tersebut dengan sendirinya berpeluang melemahkan seluruh aturan penataausahaan hutan hak yang diatur dalam Permenhut itu sendiri dari ayat-ayat awal. Karena dari ayat tersebut pemilik hasil hutan hak disimpulkan dapat mengangkut hasil hutannya tanpa dilengkapi dokumen SKAU, Nota Angkutan, atau Nota Angkutan Penggunaan Sendiri (yang adalah merupakan SKSHH). Para pemilik/ pengangkut hasil hutan tersebut tentunya akan berasumsi : 'toh nantinya pada saat ditemukan di lapangan (perjalanan), hasil hutan yang diangkut tanpa dokumen tersebut akan dilakukan penelusuran asal usulnya. Jadi buat apa repot-repot urus dokumen? paling hanya kena sanksi administrasi...
Dampak dari "keistimewaan" ini, yaitu :
1). Dapat menjadi modus baru bagi para pembalak liar (illegal loggers) atau penadah hasil hutan liar. Misalnya, pada saat yang bersamaan, ada dua lokasi penebangan yang berbeda dengan jenis pohon yang sama (Ampupu misalnya). Yang satu penebangan Ampupu dalam kawasan hutan (tanpa izin), lainnya penebangan Ampupu di lahan milik masyarakat/ hutan hak (tidak memerlukan perizinan). Illegal loggers akan menggunakan situasi ini, yaitu membeli kayu dari lokasi penebangan dalam kawasan hutan tadi yang tanpa izin, bermain mata dengan pemilik kayu di luar kawasan hutan, lalu mengangkut kayu dari dalam kawasan hutan tanpa dokumen SKSHH. Setelah diperjalanan, kayu tersebut ditahan petugas kehutanan atau kepolisian. Berdasarkan pengakuan pemilik, kayu tersebut berasal dari luar kawasan hutan (hutan hak). Lalu atas dasar pengakuan pemilik kayu, berdasarkan amanat Permenhut P.30/2012, harus dilakukan penelusuran asal usul kayu (dengan tanpa adanya dokumen penunjuk awal karena kayu memang tanpa dilengkapi dokumen apapun). Kemana petugas harus menelusuri?. Bisa saja pemilik kayu menuntun petugas ke lokasi penebangan Ampupu di luar kawasan hutan (hutan hak) tadi karena telah bermain mata dengan pemilik hutan hak. Penelusuran ini juga memungkinkan untuk dilakukan bagi semua kayu yang diangkut tanpa dokumen apapun baik yang diduga berasal dari hutan hak maupun dari hutan negara. Betapa repotnya petugas kehutanan nanti.
2). Penelusuran tersebut akan membebani anggaran baik dinas kehutanan sendiri ataupun kepolisian. Kalau lokasi kayu ditangkap tanpa dokumen dengan lokasi penebangannya berdekatan, mungkin tidak terlalu membebani. Tetapi kalau lokasinya berjauhan, misalnya kayu ditahan di salah satu kabupaten di pulau Flores (misalnya Ende), sedangkan asal usul kayu dikatakan berasal dari Sulawesi atau Kalimantan. Apakah petugas perlu menelusuri kesana. Berapa biaya yang harus dikeluarkan?.
2. Yang paling penting lagi menurut kami, adalah : Adanya ayat tersebut sangat bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Karena Pasal 50 ayat (3) hufuf h Undang-undang tersebut telah diatur sebagai berikut :
Ayat (3) :
Setiap orang dilarang :
h. mengangkut, menguasai,atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama- sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
Lingkup (konteks) hasil hutan yang dimaksud pada ayat tersebut, yaitu baik hasil hutan yang berasal dari Hutan Negara maupun Hutan Hak, karena pada Pasal 5 undang-undang tersebut telah membedakan status hutan atas Hutan Negara dan Hutan Hak.
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h tersebut dapat dilihat pada bagian Penjelasan undang-undang tersebut, yang mana ditulis sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti.
Pengertian "dilengkapi bersama-sama" ini juga dapat ditemukan pada PP. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, pada Pasal 12 ayat (2) huruf c, yang mana di dalam perubahan PP ini yaitu pada PP Nomor 60 Tahun 2009, ayat (2) huruf c PP. 45/ 2004 tersebut tidak dihapus (masih tetap berlaku).
Dengan pendasaran di atas (UU 41/1999; PP.45/2004 dan PP. 60/2009), maka kami menyimpulkan bahwa : PENGANGKUTAN HASIL HUTAN MESKIPUN HASIL HUTAN TERSEBUT BERASAL DARI HUTAN HAK SEKALI-PUN, WAJIB DISERTAI DOKUMEN SKSHH (DILENGKAPI BERSAMA-SAMA PADA SAAT MENGANGKUT).
Dengan demikian, maka Pasal 19 Ayat (2) Permenhut P.30/Menhut-II/2012 BERTENTANGAN dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan!.
Bagaimanakah pendapat Anda?. Silahkan mengisi kolom komentar di bawah ini...
Terimakasih atas partisipasinya...Salam Rimbawan!
=============
Artikel Terkait