Dalam gugatannya, ketiganya mempersoalkan UU Kehutanan selama
10 tahun masa berlakunya telah digunakan sebagai payung hukum tindakan
sewenang-wenang pemerintah untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum
adat atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian dijadikan hutan negara, yang
selanjutnya justru atas nama negara diberikan dan atau diserahkan pada para
pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk
dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat
hukum adat di wilayah tersebut.
Iki Dulagin selaku kuasa Para Pemohon menilai hal tersebut
telah menjadi akar permasalahan terjadinya konflik kekerasan antara kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut dengan pengusaha yang memanfaatkan hutan adat
mereka. Ia menambahkan, praktek penguasaan sepihak tersebut terjadi pada
sebagian besar wilayah Indonesia. “Kami menyayangkan hal demikian terjadi,
karena seharusnya pemerintah dapat lebih melindungi hak warga Negara,” ujar
Dulagin saat ditemui usai sidang pembuktian.
Dalam pertimbangan putusannya, UUD 1945, yakni Pasal 18B ayat
(2) dan Pasal 28I ayat (3) telah memberikan pengakuan dan perlindungan atas
keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat
hukum adat. Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat
sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai
sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan
negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, MK akhirnya
memutuskan “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat”, bukan sebagaimana mengartikan “hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Selanjutnya, kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU
Kehutanan, sambung Mahkamah, harus dimaknai lebih tegas, yaitu negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya, sejalan dengan maksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adapun
syarat pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat dalam frasa “sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya”, harus dimaknai sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat, karena hukum adat pada umumnya merupakan hukum yang
tidak tertulis dan merupakan living
law, artinya merupakan hukum yang diterima (accepted) dan
dijalankan (observed) serta ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan
karena memenuhi rasa keadilan bagi mereka dan sesuai serta diakui oleh
konstitusi.
Di samping itu, berkenaan syarat sepanjang kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya, dalam kenyataannya status dan fungsi hutan dalam
masyarakat hukum adat bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum
adat. Kemungkinan yang terjadi adalah kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui
keberadaannya atau kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika
kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya, hal ini dapat
menimbulkan kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. “Untuk mencegah
terjadinya dampak negatif, UUD 1945 memerintahkan keberadaan dan perlindungan
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat supaya diatur dalam Undang-Undang, agar
dengan demikian menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan,” terang
Mahkamah.
Sedangkan pendapat Pemohon yang menyatakan suatu masyarakat
hukum adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, bebas menentukan
status politik mereka dan bebas mengejar kemajuan ekonomi sosial dan budaya
mereka, menurut Mahkamah hal ini berimplikasi pada upaya pemisahan diri
masyarakat hukum adat untuk mendirikan negara baru yang lepas dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (separatisme). Keberadaan masyarakat hukum adat
demikian tidak sesuai dengan prinsip “tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional” dan prinsip “Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Berdasarkan Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 yang telah diputus
sebelumnya, permohonan pengujian atas Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan sepanjang
frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional” beralasan menurut hukum untuk
sebagian. Sehingga menurut Mahkamah, pasal tersebut inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional), sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa “penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang”
Selain diatas, MK juga menyatakan inkonstitusional bersyarat
terhadap pasal-pasal lain sehubungan dengan pengertian hukum adat menurut
Mahkamah. Antara lain putusan penting adalah MK berpendapat bahwa “hutan hak”
harus dimaknai terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum,
disamping terdapat ketegori hutan negara disamping hutan hak. hutan adat
termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan Negara.
“Berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah memutuskan
mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian,” tegas Akil Mochtar saat
membacakan putusan yang mengabulkan hak masyarakat hukum adat dengan perkara
No.35/PUU-X/2012 ini. (Juliette/Miftakhul Huda)
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=8475
=============
Artikel Terkait