Pengelolaan Konservasi Hutan Adat Oleh Pemerintah: Keseriusan atau Keserakahan?
Oleh : Mujahid Zulfadli
Mengacu pada rumusan dan konsepsi masyarakat adat dengan istilah Indegenous
People oleh Konvensi ILO 169 Tahun 1989 memang agak tepat. Medio Maret
tahun 1999, Aliansi Masyarakat Adat Indonesia (AMAN) dalam Kongres pertamanya
juga berusaha melengkapi pengertian dan pemahaman kita tentang masyarakat adat
dengan mendefinisikan mereka sebagai komunitas yang memiliki asal usul leluhur
secara turun temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki
sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas.
Keberadaan masyarakat adat tersebar di berbagai penjuru nusantara dengan
keragaman ekosistem tempat mereka hidup. Mayoritas masyarakat adat mewarisi
tanah ulayat milik nenek moyang mereka dengan sistem hidup yang terkadang
sangat ketat diberlakukan. Pedalaman hutan hujan tropis, pinggiran hutan dan
sepanjang garis pantai adalah beberapa lokasi dimana masyarakat adat tinggal,
menetap permanen, nomaden dan semi nomaden.
Sehingga kita boleh menyimpulkan bahwa selama ini, 30% hutan asli Indonesia
dijaga dan dilestarikan oleh Masyarakat Adat. Selama waktu itu pula muncullah
kecerdasan dan local spirit bagaimana kita mengelola dan
melesatarikan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan yang dimiliki
Indonesia. Masyarakat adat merupakan suplemen dari Negara Indonesia, bukan
komplemen.
Akan tetapi, alih-alih sebagian besar mereka mengikuti Sensus Penduduk Mei
lalu, tercatat di Kelurahan pun tidak. Adapun sebagian lain dari masyarakat
adat semisal Suku Hoaulu di Provinsi Papua yang mengikuti sensus, kelanjutannya
juga masih menyisakan tanda tanya besar. Sensus sebagai bahan pengambilan kebijakan
pemerintah seakan tidak berarti sama sekali. Hal ini tidak terlepas dari
berbagai macam pendefinisian sepihak yang dimunculkan terhadap masyarakat adat
sebagai masyarakat asing dan masyarakat primitif.
Pertentangan Perundangundangan
Kalau kita menelisik dengan sedikit kritis bahwa Undang-Undang Dasar 1945
Hasil Amandemen dalam pasal 18B ayat (2) menegaskan, Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Tidak demikian kenyataannya. Kebijakan-kebijkan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, seringkali secara tidak adil telah mengambil-alih hak asal usul,
hak atas wilayah adat, dan yang paling utama adalah hak pengelolaan konservasi
hutan adat yang berada dalam tanah ulayat mereka. Buktinya adalah beberapa
produk hukum yang menjadi landasan pemerintah mengambil tindakan
sewenang-wenang di tanah ulayat masyarakat adat, dapat kita konfrontir antara
sebuah undang-undang dengan peraturan pemerintah lainnya.
Antara Hutan Adat dan Hutan Negara
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Pasal 5 ayat (1)
terjadi konfrontasi yang mencengangkan, pembagian status kepemilikan hutan
hanya terdiri atas dua jenis. Petama adalah hutan negara, yaitu hutan yang
berada pada tanah yang tidak dibebankan hak atas tanah, hutan hak yakni hutan
yang berada pada tanah yang dibebankan hak atas tanah. Sementara status hutan
adat oleh undang-undang kehutanan ini hanya dipandang sebagai bagian dari hutan
negara.
Sebelumnya Pasal 1 ayat (6)
disebutkan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat. Sangat jelas rumusan pasal Undang-Undang Kehutanan di atas meniadakan
hak ulayat masyarakat adat terhadap tanah (termasuk hutan) yang berada dalam
wilayah adatnya. Padahal sebelumnya berstatus sebagai Undang-undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang pokok-pokok kehutanan yang kemudian diganti dengan secara
sepihak dan menempatkan hutan adat sebagai hutan negara.
Hukum negara dipaksakan untuk disalahgunkan. Parahnya lagi entah mengapa
hutan negara alias hutan adat yang dipaksakan berubah, serta merupakan
sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat adat dikelola pengusahaannya melalui
praktek KKN yang dimiliki oleh elit politik tertentu dan pihak swasta. Pemilik
modal terlalu mudah untuk mengintervensi pemerintah, undang-undang menjadi
sebuah instrumen ‘penghalalan’ kerja kotor mereka. Katakanlah persoalan
perizinan Izin HPH, HTI, IPK dan IHPHH yang dikelurkan secara serampangan.
Hasilnya? Jangan ditanya lagi. Hutan di Indonesia sebagai ladang subur
pengalihan lahan dan tindak penghancuran ekosistem. Kebakaran hutan akaibat
moratorium yang terlalu lama dalam peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan
komersial. Kerugian ekonomi masyarakat adat sebagai korban pertama sebagai
pemilik utama hutan adat sangatlah besar, pun dengan kehancuran ekologis dan
kerusakan alam yang begitu mencemaskan.
Gelombang Kehancuran Ekosistem Hutan
Pada saat yang bersamaan, berbagai kearifan lokal masyarakat adat dalam
mengawal kesimbangan ekosistem hutan di seluruh penjuru nusantara tidak
diberikan kesempatan oleh pemerintah. Terdapat masyarakat adat Kampong
Becanggang di ujung utara Pulau Sumatera hingga masyarakat adat Suku Korowai di
pedalaman hutan Papua.
Disisi lain, negara ini membutuhkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan,
sebagimana telah dipraktekkan selama ratusan bahkan ribuan tahun. Pengelolaan
hutan adat dengan alasan konservasi juga merupakan jurus ampuh meluluhlantakkan
hutan Indonesia yang didalamnya terdapat 17% spesies tumbuhan dunia. Angka ini
mungkin berubah ketika kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia juga kehilangan
3,8 juta hektar hutan setiap tahunnya.
Melihat kenyataan ini, sekarang sudah saatnya pemerintah mengkaji dan
mereformasi kebijakan-kebijakan yang tidak populer dengan pengetahuan dan
kearifan lokal masyarakat (hukum) adat dalam mengelola hutan. Sebab,
pengelolaan hutan oleh masyarakat adat adalah kegiatan yang melingkupi keseluruhan
kegiatan konservasi, ekstraksi dan juga kegiatan budidaya yang dilakukan pada
semua fungsi hutan dengan intensitas yang berbeda. Pemerintah harus dengan
segera mengakomodasi dan memberikan jalan keluar sehingga pengelolaan hutan
Indonesia secara umum bisa berlangsung dengan baik.
Hutan Kemasyarakatan Sebagai Upaya Solutif
Era reformasi saat ini, paling tidak terdapat sebuah pilihan hukum yang
dapat digunakan oleh masyarakat adat agar bisa berperan dalam pengurusan
sumberdaya hutan, yakni penerapan kehutanan masyarakat untuk keseluruhan
paguyuban masyarakat adat. Sebuah konsep yang berbeda dengan Hutan
Kemasyarakatan. Inisiasi yang mendukung pengelolaan hutan adat secara
professional tersebut dimotori oleh Pemerintah Daerah Kutai Barat yang
menggunakan istilah Kehutanan Masyarakat dalam Peraturan Daerah No. 12/2003
tentang Kehutanan Masyarakat.
Konsep kehutanan masyarakat berbeda dengan Hutan Kemasyarakatan. Dengan
tegas Keputusan Menhut No. 31/2001 mengatakan bahwa izin kegiatan HKM bukan
merupakan hak pemilikan atas kawasan hutan dan tidak dapat diagunkan atau
dipindahtangankan. Ketidakseriusan pemerintah dalam hal ini Departemen
Kehutanan dalam mengawal HKM dan Kehutanan Masyarakat, mengakibatkan hingga
saat ini belum semeter tanahpun yang masuk dalam HKM dan Kehutanan Masyarakat.
Pada bulan Maret lalu, kembali Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam
Konsultasi Nasional Masyarakat Adat tentang perubahan iklim dan REDD lalu
mengajukan rekomendasi kepada Departemen Kehutanan. Salah satunya adalah
mendorong pengakuan dan perlindungan, serta promosi bagi model-model
pengelolaan hutan secara tradisional oleh Masyarakat Adat. Itulah jalan yang
mesti ditempuh. Hal ini dikarenakan keyakinan bahwa solusi terhadap semua
persoalan kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat.
Namun sekali lagi, kebijakan tinggallah kebijakan yang tanpa implementasi.
Apakah pemerintah serius mengelola hutan adat untuk kesejahteraan masyarakat
ataukah menjadi hipokrat dengan keserakahan meraup keuntungan sebesar-besarnya
dari tanah ulayat masyarakat adat?
Kita lihat nanti.
Sumber :
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2010/12/24/pengelolaan-konservasi-hutan-adat-oleh-pemerintah-keseriusan-atau-keserakahan-327407.html
Artikel Terkait