Kalimat Bijak :

Saturday, July 6, 2013

Pengelolaan Konservasi Hutan Adat Oleh Pemerintah: Keseriusan atau Keserakahan?

Pengelolaan Konservasi Hutan Adat Oleh Pemerintah: Keseriusan atau Keserakahan?



Oleh : Mujahid Zulfadli


Mengacu pada rumusan dan konsepsi masyarakat adat dengan istilah Indegenous People oleh Konvensi ILO 169 Tahun 1989 memang agak tepat. Medio Maret tahun 1999, Aliansi Masyarakat Adat Indonesia (AMAN) dalam Kongres pertamanya juga berusaha melengkapi pengertian dan pemahaman kita tentang masyarakat adat dengan mendefinisikan mereka sebagai komunitas yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas.

Keberadaan masyarakat adat tersebar di berbagai penjuru nusantara dengan keragaman ekosistem tempat mereka hidup. Mayoritas masyarakat adat mewarisi tanah ulayat milik nenek moyang mereka dengan sistem hidup yang terkadang sangat ketat diberlakukan. Pedalaman hutan hujan tropis, pinggiran hutan dan sepanjang garis pantai adalah beberapa lokasi dimana masyarakat adat tinggal, menetap permanen, nomaden dan semi nomaden.
Sehingga kita boleh menyimpulkan bahwa selama ini, 30% hutan asli Indonesia dijaga dan dilestarikan oleh Masyarakat Adat. Selama waktu itu pula muncullah kecerdasan dan local spirit bagaimana kita mengelola dan melesatarikan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan yang dimiliki Indonesia. Masyarakat adat merupakan suplemen dari Negara Indonesia, bukan komplemen.

Akan tetapi, alih-alih sebagian besar mereka mengikuti Sensus Penduduk Mei lalu, tercatat di Kelurahan pun tidak. Adapun sebagian lain dari masyarakat adat semisal Suku Hoaulu di Provinsi Papua yang mengikuti sensus, kelanjutannya juga masih menyisakan tanda tanya besar. Sensus sebagai bahan pengambilan kebijakan pemerintah seakan tidak berarti sama sekali. Hal ini tidak terlepas dari berbagai macam pendefinisian sepihak yang dimunculkan terhadap masyarakat adat sebagai masyarakat asing dan masyarakat primitif.

Pertentangan Perundangundangan

Kalau kita menelisik dengan sedikit kritis bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dalam pasal 18B ayat (2) menegaskan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Tidak demikian kenyataannya. Kebijakan-kebijkan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seringkali secara tidak adil telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, dan yang paling utama adalah hak pengelolaan konservasi hutan adat yang berada dalam tanah ulayat mereka. Buktinya adalah beberapa produk hukum yang menjadi landasan pemerintah mengambil tindakan sewenang-wenang di tanah ulayat masyarakat adat, dapat kita konfrontir antara sebuah undang-undang dengan peraturan pemerintah lainnya.

Antara Hutan Adat dan Hutan Negara

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Pasal 5 ayat (1) terjadi konfrontasi yang mencengangkan, pembagian status kepemilikan hutan hanya terdiri atas dua jenis. Petama adalah hutan negara, yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebankan hak atas tanah, hutan hak yakni hutan yang berada pada tanah yang dibebankan hak atas tanah. Sementara status hutan adat oleh undang-undang kehutanan ini hanya dipandang sebagai bagian dari hutan negara.

Sebelumnya Pasal 1 ayat (6) disebutkan hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Sangat jelas rumusan pasal Undang-Undang Kehutanan di atas meniadakan hak ulayat masyarakat adat terhadap tanah (termasuk hutan) yang berada dalam wilayah adatnya. Padahal sebelumnya berstatus sebagai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang pokok-pokok kehutanan yang kemudian diganti dengan secara sepihak dan menempatkan hutan adat sebagai hutan negara.






Hukum negara dipaksakan untuk disalahgunkan. Parahnya lagi entah mengapa hutan negara alias hutan adat yang dipaksakan berubah, serta merupakan sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat adat dikelola pengusahaannya melalui praktek KKN yang dimiliki oleh elit politik tertentu dan pihak swasta. Pemilik modal terlalu mudah untuk mengintervensi pemerintah, undang-undang menjadi sebuah instrumen ‘penghalalan’ kerja kotor mereka. Katakanlah persoalan perizinan Izin HPH, HTI, IPK dan IHPHH yang dikelurkan secara serampangan.

Hasilnya? Jangan ditanya lagi. Hutan di Indonesia sebagai ladang subur pengalihan lahan dan tindak penghancuran ekosistem. Kebakaran hutan akaibat moratorium yang terlalu lama dalam peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan komersial. Kerugian ekonomi masyarakat adat sebagai korban pertama sebagai pemilik utama hutan adat sangatlah besar, pun dengan kehancuran ekologis dan kerusakan alam yang begitu mencemaskan.

Gelombang Kehancuran Ekosistem Hutan

Pada saat yang bersamaan, berbagai kearifan lokal masyarakat adat dalam mengawal kesimbangan ekosistem hutan di seluruh penjuru nusantara tidak diberikan kesempatan oleh pemerintah. Terdapat masyarakat adat Kampong Becanggang di ujung utara Pulau Sumatera hingga masyarakat adat Suku Korowai di pedalaman hutan Papua.

Disisi lain, negara ini membutuhkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, sebagimana telah dipraktekkan selama ratusan bahkan ribuan tahun. Pengelolaan hutan adat dengan alasan konservasi juga merupakan jurus ampuh meluluhlantakkan hutan Indonesia yang didalamnya terdapat 17% spesies tumbuhan dunia. Angka ini mungkin berubah ketika kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia juga kehilangan 3,8 juta hektar hutan setiap tahunnya.

Melihat kenyataan ini, sekarang sudah saatnya pemerintah mengkaji dan mereformasi kebijakan-kebijakan yang tidak populer dengan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat (hukum) adat dalam mengelola hutan. Sebab, pengelolaan hutan oleh masyarakat adat adalah kegiatan yang melingkupi keseluruhan kegiatan konservasi, ekstraksi dan juga kegiatan budidaya yang dilakukan pada semua fungsi hutan dengan intensitas yang berbeda. Pemerintah harus dengan segera mengakomodasi dan memberikan jalan keluar sehingga pengelolaan hutan Indonesia secara umum bisa berlangsung dengan baik.

Hutan Kemasyarakatan Sebagai Upaya Solutif

Era reformasi saat ini, paling tidak terdapat sebuah pilihan hukum yang dapat digunakan oleh masyarakat adat agar bisa berperan dalam pengurusan sumberdaya hutan, yakni penerapan kehutanan masyarakat untuk keseluruhan paguyuban masyarakat adat. Sebuah konsep yang berbeda dengan Hutan Kemasyarakatan. Inisiasi yang mendukung pengelolaan hutan adat secara professional tersebut dimotori oleh Pemerintah Daerah Kutai Barat yang menggunakan istilah Kehutanan Masyarakat dalam Peraturan Daerah No. 12/2003 tentang Kehutanan Masyarakat.

Konsep kehutanan masyarakat berbeda dengan Hutan Kemasyarakatan. Dengan tegas Keputusan Menhut No. 31/2001 mengatakan bahwa izin kegiatan HKM bukan merupakan hak pemilikan atas kawasan hutan dan tidak dapat diagunkan atau dipindahtangankan. Ketidakseriusan pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan dalam mengawal HKM dan Kehutanan Masyarakat, mengakibatkan hingga saat ini belum semeter tanahpun yang masuk dalam HKM dan Kehutanan Masyarakat.

Pada bulan Maret lalu, kembali Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Konsultasi Nasional Masyarakat Adat tentang perubahan iklim dan REDD lalu mengajukan rekomendasi kepada Departemen Kehutanan. Salah satunya adalah mendorong pengakuan dan perlindungan, serta promosi bagi model-model pengelolaan hutan secara tradisional oleh Masyarakat Adat. Itulah jalan yang mesti ditempuh. Hal ini dikarenakan keyakinan bahwa solusi terhadap semua persoalan kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat.

Namun sekali lagi, kebijakan tinggallah kebijakan yang tanpa implementasi. Apakah pemerintah serius mengelola hutan adat untuk kesejahteraan masyarakat ataukah menjadi hipokrat dengan keserakahan meraup keuntungan sebesar-besarnya dari tanah ulayat masyarakat adat?


Kita lihat nanti.

Sumber : 
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2010/12/24/pengelolaan-konservasi-hutan-adat-oleh-pemerintah-keseriusan-atau-keserakahan-327407.html


Artikel Terkait