Kalimat Bijak :

Tuesday, November 26, 2013

Dampak negatif penambangan Pasir Besi (Studi kasus Dermaga Linau Kecamatan Maje Kabupaten Kaur-bagian 2)

1.3 Dampak Pertambangan Pasir Besi

Menurut Santoso (2008), beberapa dampak negatif akibat pertambangan jika tidak terkendali antara lain sebagai berikut:
  1. Kerusakan lahan bekas tambang.
  2. Merusak lahan perkebunan dan pertanian.
  3. Membuka kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan.
  4. Dalam jangka panjang, pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya.
  5. Pencemaran baik tanah, air maupun udara. Misalnya debu, gas beracun, bunyi dll.
  6. Kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir.
  7. Banjir, longsor, lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati. Air tambang asam yang beracun yang jika dialirkan ke sungai yang akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut.
  8. Menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan.
  9. Sarana dan prasarana seperti jalan dll. rusak berat.
  10. Dan lain-lain.

Mengapa bisa terjadi demikian? Karena :
  • Adanya perbedaan kepentingan antara kepentingan lingkungan vs kepentingan ekonomi, politik dll. 
  • Penegakkan hukum yang belum baik. 
  • Aturan yang dibuat seringkali mengakomodasi beberapa kepentingan dengan bahkan mengabaikan unsur lingkungan. 
  • Aturan yang tidak dilaksanakan dengan konsisten. 

Dalam prakteknya otonomi daerah menyebabkan pertambangan maju pesat dan nyaris tidak terkendali. Banyak kasus di beberapa daerah justru terjadi konversi hutan lindung menjadi kawasan produksi. Illegal logging justru dilakukan oleh oknum-oknum yang seharusnya melindungi hutan.

Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kaur Nomor. 245 Tahun 2008 tanggal 15 September 2008, PT. Selomoro Banyu Arto memperoleh Kuasa Pertambangan eksplorasi pasir besi di Kecamatan Maje dengan kode wilayah KW. 08 PKR 004 dengan luas kuasa wilayah pertambangan eksplorasi pasir besi 179,36 Hektar.

Dampak penambangan pasir besi di Kecamatan Maje Kabupaten Kaur (Anonim 2011) :

1. Menurunnya kualitas udara

Pada tahap prakonstruksi tambang akibat kegiatan mobilisasi alat berat diperkirakan perusahaan akan mengoperasikan 44 unit alat berat. Pada tahap ini aktifitas yang dilakukan meliputi pembersihan lahan, pembuatan jalan tambang , pembangunan sarana tambang, pembangunan pengelolaan instalasi pasir besi, dipastikan akan meningkatkan kadar debu di lingkungan sekitar. Intensitas ini dipastikan akan bertambah pada tahap operasi tambang akibat pengupasan tanah pucuk. Perusahaan memasang target akan mengelola dan mengangkut 1500 s/d 2000 ton per hari dengan volume angkut 75 s/d 100 rit per hari. hal ini tentu akan meningkatkan sebaran debu di sekitar tambang dan akan mencapai ke pemukiman penduduk Desa Sukamenanti, Way Hawang dan Linau akibat angkutan pasir besi. 

Lamanya dampak debu ini diperkirakan oleh perusahaan selama 15 s/d 18 tahun (selama tambang masih aktif beroperasi) tingkat polusi debu akan semakin tinggi pada saat siang hari dimana angin bertiup dari laut ke arah daratan (pemukiman warga, Desa Sukamenanti dan Way Hawang) Hal ini tentu saja akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat, mereka terancam penyakit ISPA (Infeksi saluran Pernafasan Akut) TBC, dan lain-lain.

2. Kebisingan

Kegiatan tambang pasir besi pada tahap prakonstruksi berupa mobilisasi alat-alat berat berjumlah 44 unit. Dipastikan ini akan meningkatkan kebisingan di areal tambang dan pemukiman masyarakat di jalan Way Hawang Sukamenanti. Tingkat kebisingan akan semakin bertambah ketika operasional pertambangan mulai berjalan normal. Lama kebisingan berlangsung sebanyak 150 s/d 200 kali setiap hari sesuai volume yang direncanakan perusahaan sebanyak 1500 s/d 2000 ton per hari. Dengan volume angkut 75 s/d 100 rit per hari. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi ketenangan warga pada saat tidur.

3. Perubahan Bentuk Danau Kembar

Sebagian wilayah penambangan merupakan perairan Sungai Air Numan (Danau Kembar) kondisi awal seluas 16,02 hektar dan daratan seluas 163,34 hektar. Kegiatan penggalian tentu saja akan memperluas bentuk dan struktur danau, diperkirakan akan meluas sebesar 28 hektar. Begitu juga dengan kedalaman, saat ini kedalaman danau berkisar 0,2 meter s/d 0,8 meter. 

Dengan adanya penggalian pasir besi dapat dipastikan kedalaman danau akan menjadi 7 hingga 8 meter. Hal ini sangat membahayakan warga, dan debit air akan mengalami perubahan struktur, ancaman terhadap kekeringan dan banjir yang mendadak akibat iklim yang tidak menentu, merupakan ancaman utama bagi warga.

4. Abrasi Pantai

Harus diakui aktifitas pertambangan juga akan mempengaruhi struktur pantai Way Hawang, ancaman akan meningkat khususnya pada saat air laut pasang dan gelombang besar serta tinggi akan membuat bentuk pantai berubah. Kondisi ini diakui oleh perusahaan sulit dipulihkan karena membutuhkan biaya besar. Masyarakat yang terkena dampak langsung adalah Desa Sukamenanti dan Desa Way Hawang. Lamanya dampak akan terjadi selama perusahaan masih beroperasi hingga pada tahap pasca operasi tambang. (UPL 2008: IV-3).

Hasil analisa dalam laporan UPL dikatakan, kegiatan tambang pasir besi PT. Selo Moro Banyu Arto berdampak negative terhadap morfologi lahan karena dapat menimbulkan dampak turunan berupa abrasi yang merugikan masyarakat. (UPL 2008: IV-4).

5. Menurunnya Kualitas Air

Kegiatan pertambangan dipastikan akan mengurangi kualitas air tanah (sumur) dan kualitas air permukaan Danau Kembar dan Air Way Hawang pengolaan pasir besi membutuhkan banyak air untuk diolah di Magnetic Separator, yang menghasilkan pasir besi dan limbah dengan kapasitas air 225 m3/ jam. Limbah dari pengolaan ini tentu akan mempengaruhi kadar air yang ada di sekitar pemukiman warga. Sumber negatif lainnya adalah pengoperasian bengkel. 

Perawatan alat berat tambang pasir besi dipastikan akan menghasilkan pelumas bekas sebanyak 58,49 liter per hari. Sisa oli bekas ini jika tidak dikelola dengan baik akan dapat mencemari danau kembar dan sumur warga, serta air laut di lingkungan tambang. Hal ini terbukti dibanyak pertambangan yang dengan ceroboh membuang begitu saja pelumas bekas mereka ke sungai atau berceceran di tanah.

6. Kerusakan Jalan

Jalur angkut perusahaan meliputi jalan Raya Desa Sukamenanti – Desa Way Hawang hingga Pelabuhan Linau. Jalan ini merupakan jalan negara dengan spesifikasi III A atau dapat dilalui kendaraan dengan muatan maksimal 8 ton. Pada tahap pengoperasian tambang setiap hari direncanakan 1500 – 2000 ton pasir besi diangkut menggunakan truck penganggkut dengan kapasitas 20 ton per unit. Kondisi ini akan dapat merusak jalan di sepanjang route pengangkutan sebab, maksimal berat jalan route tersebut adalah 10 ton.

7. Aspek Biologi

Kegiatan penambangan dipastikan merubah tipe vegetasi seluas 46,03 hektar (total) dari vegetasi daratan seluas 16,02 hektar dan perairan Danau Kembar seluas 30,01 hektar kehilangan vegetasi penutup dipastikan akan menimbulkan abrasi. Disamping itu pendapatan masyarakat dari berkebun, seperti kelapa, kelapa sawit, tanaman padi juga ikut hilang.

8. Biota Air

Dampak terhadap biota air merupakan dampak tak langsung akibat kegiatan tambang pasir besi. Sumber dampak berasal dari perubahan kulitas air akibat limbah pengolahan pasir. Sumber lainnya adalah karena tirisan penumpukan pasir besi, air limbah bekas pelumas dari kegiatan bengkel. Indeks keanekaragaman Danau Kembar akan menurun dari kondisi awal 0,8 s/d 2, 48 untuk plankton dan 1,90 s/d 2,98 untuk biota benthos. Kondisi ini akan menurunkan jumlah ikan, udang, kepiting, yang merupakan mata pencaharian tambahan bagi masyarakat selain bertani. Lama dampak berlangsung selama 15 s/d 18 tahun.

9. Pendapatan Masyarakat

Perusahaan mengklaim aktifitas pertambangan mereka dapat merekrut tenaga kerja dari warga lokal, selanjutnya masyarakat sekitar tambang dapat membuka warung dan sebagainya. Namun perlu diingat bahwa, sedikit sekali (jika tidak mau dikatakan tidak ada) warga setempat yang memiliki keahlian di bidang pertambangan. Artinya, mereka akan dijadikan buruh kasar saja, yang sewaktu-waktu dapat mereka PHK dengan beragam alasan. 

Selain itu, proses ini akan membuat masyarakat meninggalkan profesi asal mereka yang mungkin awalnya petani, nelayan, menjadi pekerja buruh di perusahaan yang biasanya mereka tidak memiliki posisi tawar tinggi. Ini banyak terjadi di pertambangan-pertambangan lain.


Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara langsung terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004) dalam Widyati (2010) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada lingkungan tersebut.

Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik pada kegiatan pengadaan maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan bekas tambang maupun hidupan yang berada di sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada dapat mengganggu kesehatan manusia.

Luas permukaan daratan Indonesia yang telah diijinkan untuk kegiatan pertambangan relatif kecil (1,336 juta ha atau 0,7% dari area daratan total), dan bahkan luas total areal penambangan yang masih aktif dan yang sudah selesai ditambang lebih kecil lagi (36.743 ha, atau 0,019% dari area daratan total) (Anonim, 2006). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil, kebanyakan kegiatan penambangan menerapkan teknik penambangan di permukaan (surface mining) yang dengan sendirinya mengakibatkan usikan terhadap lansekap setempat; areal areal vegetasi yang ada dan habitat fauna menjadi rusak, dan pemindahan lapisan atas tanah yang menutupi ‘cadangan mineral menghasilkan’ perubahan yang tegas dalam topografi, hidrologi, dan kestabilan lansekap. 

Apabila pengelolaan lingkungan tidak efektif, pengaruh lokal (on-site) ini dapat mengakibatkan usikan lanjutan di luar areal penambangan (off-site), yang bersumber dari erosi air dan angin terhadap sisa galian yang belum terstabilkan atau bahan sisa yang berasal dari pengolahan mineral. Pengaruh-pengaruh ini dapat pula meliputi sedimentasi sungai-sungai, dan penurunan kualitas air akibat meningkatnya salinitas, keasaman, dan muatan unsur-unsur beracun dalam air sungai tersebut.

=================================
Lanjutkan membaca .. ke Definisi Bioremediasi


Artikel Terkait