Energi padat seluruhnya masih membuang emisi ke atmosfer. Walaupun Indonesia tidak termasuk negara yang diwajibkan menurunkan emisinya karena secara nasional net-emisinya negatif, namun dalam penggunaan energi padat tetaplah harus berhati-hati. Secara moral Indonesia turut pula bertanggung jawab (dalam peran yang berbeda) dalam menurunkan emisi ini (common but diffeterentiated responsibility). Dalam penggunaanya,
energi cair lebih fleksibel dan mobile, dapat diangkut kemana-mana, kecuali black liquor sebagai produk sampingan industri pulp yang langsung dipakai sebagai energi bagi industri pulp itu sendiri. Pada industri pulp dan kertas di Riau, tenaga listrik yang disuplai sendiri dengan menggunakan bahan baku black liquor dapat mencapai lebih dari 70%.
energi cair lebih fleksibel dan mobile, dapat diangkut kemana-mana, kecuali black liquor sebagai produk sampingan industri pulp yang langsung dipakai sebagai energi bagi industri pulp itu sendiri. Pada industri pulp dan kertas di Riau, tenaga listrik yang disuplai sendiri dengan menggunakan bahan baku black liquor dapat mencapai lebih dari 70%.
Biodiesel dari biji Nyamplung cocok untuk daerah pesisir, karena tanaman ini mayoritas hidup di daerah pantai. Daerah pantai memiliki aksesibilitas yang relatif baik, sehingga akan sulit bersaing dengan harga BBM. Apabila diangkut ke pedalaman, timbul masalah biaya angkutan. Menurut Prof. Suminar Setiadi Achmadi (Guru besar kimia organik IPB), biodiesel memiliki rantai carbon yang panjang (6-16). Hal ini menyebabkan emisinya besar juga, sama dengan BBM.
Bioetanol umumnya dibuat dari bahan pangan. Di sektor Kehutanan, bioetanol baru diuji coba dari pati Sagu (Metroxylon sp.) dan nira pohon Aren (Arenga pinnata). Bioetanol dapat juga dibuat dari selulosa yang berasal dari kayu, atau limbah sagu. Rantai karbonnya hanya dua, sehingga cukup ramah lingkungan. Bioetanol dari selulosa ini tidak mampu bersaing dengan biometanol baik dari segi waktu proses, biaya bahan baku, dan rendemen. Hal itu dapat dijelaskan pada tabel 2 di bawah ini :
Bioetanol umumnya dibuat dari bahan pangan. Di sektor Kehutanan, bioetanol baru diuji coba dari pati Sagu (Metroxylon sp.) dan nira pohon Aren (Arenga pinnata). Bioetanol dapat juga dibuat dari selulosa yang berasal dari kayu, atau limbah sagu. Rantai karbonnya hanya dua, sehingga cukup ramah lingkungan. Bioetanol dari selulosa ini tidak mampu bersaing dengan biometanol baik dari segi waktu proses, biaya bahan baku, dan rendemen. Hal itu dapat dijelaskan pada tabel 2 di bawah ini :
Tabel 2 : Perbandingan bioetanol selulosa dengan biometanol pada berbagai parameter
| ||||
Sumber Energi Cair
|
Waktu Proses
|
Net Kandungan Energi (BTU/lb)
|
Efisiensi Konversi (Gallons/Ton Biomassa kering)
|
Biaya ($/gallon)
|
Metanol
|
Menit
|
9,071
|
105-186
|
1,63
|
Etanol
|
40-50 jam
|
11,908
|
79-119
|
2,00
|
Biodiesel RME
|
Hari
|
15,906
|
--
|
2,50
|
Sumber : Prof. Kristiina Vogt
|
Total biaya produksi metanol dari batubara US$ 0.46/gal, dari gas alam US$ 2.13/gal, dan dari biomass US$ 1.50/gal.
Artikel Terkait