Pabrik biometanol yang terpusat memerlukan dukungan
bahan baku dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Biaya angkutan bahan baku akan
menjadi faktor pembatas. Di Amerika Serikat, menurut Prof. Kristiina Vogt,
jarak 60-100 mill akan menjadi batas maksimal. Demikian pula apabila pabrik
diletakkan di wilayah urban, akan sulit bersaing dengan bahan bakar fosil dari
SPBU. Belum lagi permasalahan pada pembuangan limbahnya (abu).
Pabrik yang diletakkan tersebar walaupun stationer masih lebih baik karena akan menekan ongkos angkut bahan bakar dan mengembalikan limbah abu ke lantai hutan dari mana kayu diperoleh. Pabrik seperti ini mungkin akan lebih tepat apabila ditempatkan pada sentra industri kayu. Pabrik stationer ini memerlukan kapasitas produksi minimum (minimum economic scale) yaitu 100 ton bahan baku kayu kering per hari.
Pabrik yang bersifat bergerak, mesin metanol yang mobile (M3X) dapat menjangkau areal
hutan yang terpencil (remote) di
lokasi bahan baku, baik dari hutan tanaman maupun dari limbah pembalakan.
Limbah abu dapat dengan mudah dikembalikan ke lantai hutan setempat. Biometanol
lebih ringkas dan mudah diangkut ke pusat-pusat distribusi, dengan biaya
angkutan bahan baku yang hampir nihil.
Tipe mesin inilah yang rencananya akan dibuat untuk
Indonesia yang memerlukan biaya yang besar. Apabila sudah komersil, pabrik
tersebut hanya seharga sepertiganya, lebih murah dari harga sebuah spindle rotary kecil pada industri plywood.
Mesin biometanol dapat juga memproses bahan baku
kayu yang beracun seperti bekas bantalan kereta api dan tiang telepon yang pada
umumnya telah diawetkan dengan bahan pengawet kimia beracun seperti Phenolic.
Artikel Terkait