Seperti dijelaskan oleh Prof. Kristiina Vogt, ada
tiga tipe mesin metanol, yaitu :
- Kapasitas besar, di atas 100 ton bahan baku kayu kering per hari, yang diletakan terpusat. Kelemahannya adalah, pada jarak angkut bahan baku kayu yang tidak ekonomis bila melampaui 100 kilometer. Kelemahan lainnya adalah, ia harus bersaing dengan BBM yang masih murah dan bersubsidi. Ia baru menarik bagi investasi bila harga minyak mentah melampaui US$ 80 per barrel dan subsidi BBM dihapus. Tipe pabrik ini cocok apabila diorientasikan ke pasar luar negeri (ekspor) atau substitusi impor.
- Pabrik yang bersifat dapat dipindah akan tetapi ditempatkan secara menetap, misalnya di dalam pusat-pusat industri perkayuan. Kapasitasnya dapat disesuaikan. Tipe ini cocok digunakan apabila pabrik metanol tersebut dikelola secara kooperatif (dalam bentuk badan usaha koperasi) yang pemiliknya adalah pabrik-pabrik pengolahan kayu hilir, yang sekaligus menjadi penjamin suplai bahan baku limbah kayu dan juga konsumen metanolnya (captive market).
- Pabrik yang bersifat mobile (M3X), bergerak ke pusat-pusat sumber bahan baku kayu, pusat penebangan pada industri logging dan hutan tanaman (HTI, HTR, HR, HKm, Hutan Desa). Ia bergerak mengikuti siklus pemanenannya. Kapasitas bisa bervariasi, yaitu 2-10 ton bahan baku kayu kering per hari. Investasinya relatif kecil, dan metanol bisa digunakan sendiri pada wilayah setempat.
Meskipun ketiga tipe tersebut dapat diterapkan di
Indonesia, namun tipe ketiga (M3X) yang paling cocok diterapkan
(diprioritaskan). Asep Suntana (dalam riset doktornya), telah mengidentifikasi
potensi bahan baku biometanol dari kayu di Indonesia, dimana Indonesia sangat
potensial mengingat biomassa yang dibutuhkan tidak memerlukan standar kualitas
kayu tertentu, mencakup kayu berdiameter kecil (pruning; pre-commercial, and commercial thinning), dan kayu
bernilai ekonomi rendah, serta jenis kayu yang kurang dikenal.
Disamping itu, bahan baku juga mencakup limbah kayu yang kesemuanya mempunyai ketersediaan di hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat, hutan desa, dan lain-lain, yang cukup signifikan.
Disamping itu, bahan baku juga mencakup limbah kayu yang kesemuanya mempunyai ketersediaan di hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat, hutan desa, dan lain-lain, yang cukup signifikan.
Komposisi limbah penebangan tergambar pada tabel
berikut :
Tabel : Komposisi limbah penebangan di Indonesia
(Enters, 2001)
|
||
Component
|
Amount
(m3/hektar)
|
Amount
(Percent)
|
Upper portion of the tree trunk
including branches, smaller branches and twigs :
|
37,29
|
45,35
|
Stumps :
|
23,95
|
29,14
|
Damaged standing trees, due to feling and skiding :
|
3,96
|
4,82
|
Commercial wood logs of unacceptable qualities,
due to knots, crooks, reaktion woods and other defects :
|
15,66
|
19,05
|
Unknown or non-commercial tree species :
|
1,33
|
1,62
|
Total :
|
82,19
|
100,00
|
Mengenai biomassa di atas lantai hutan, pada tingkat nasional, berdasarkan penelitian pada tahun 2007 menunjukan bahwa, pada tingkat pemanfaatan 25% akan diperoleh biomassa 5,083 juta Mg, pada tingkat pemanfaatan 50% akan diperoleh biomassa 5,400 juta Mg, sedangkan pada pemanfaatan 75% akan diperoleh biomassa 10,726 juta Mg. Limbah hutan pada tahun 1980 sebesar 7,5 juta m3 atau 5 juta Mg, setara dengan nilai ekonomi Rp. 1,2 triliun atau US$ 132.4 juta. Belum lagi potensi kayu dari hutan tanaman. Pemerintah mempunyai program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat 5 juta hektar sampai dengan tahun 2015.
Para pakar pembangunan ekonomi global telah
sependapat bahwa pembangunan ekonomi yang ditunjang oleh energi fosil telah
mengakibatkan berbagai macam krisis, utamanya krisis perubahan iklim global,
dan krisis energi itu sendiri. Mereka berpendapat bahwa pembangunan ekonomi ke
depan haruslah menjadi green economy
yang ditunjang oleh energi hidrogen tanpa polusi. Teknologi hidrogen berbahan baku biomassa kini telah
tersedia di Jerman, di bawah paten : H2 Patent GmbH. Akan tetapi hal tersebut
masih jauh dan perlu pengembangan teknologi dan infrastruktur untuk
menjadikannya layak diusahakan/diimplementasikan. Solusinya adalah mengganti
energi fosil dengan energi hijau yang ramah lingkungan dan secara sosial dapat
diterima dan menguntungkan. Pilihan terbaik adalah biometanol berbasis
kehutanan. Proses pemilihan ini menghasilkan konsep pembangunan rendah karbon (low carbon development). Konon,
biometanol adalah bahan baku terbaik untuk memproduksi energi hidrogen. Methanol Institute USA menyebutkan bahwa
metanol juga dapat diubah menjadi Dimethyl Ether (CH3OCH3)
yang berfungsi sebagai LNG. Oleh karena itulah Prof. Kristiina Vogt menilai
bahwa Indonesia sangat potensial untuk pengembangan biometanol berbasis
biomassa hutan.
Artikel Terkait