Pelestarian alam dan perlindungan hutan dalam perspektif agama Budha
KETELADANAN DAN MENGHARGAI KEHIDUPAN DALAM PELESTARIAN ALAM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HUTAN
Sang Buddha mengajarkan agar
setiap
Bhikkhu
dan
para pengikutnya untuk
menghargai kehidupan dalam
bentuk sekecil apa pun. Diriwayatkan : Bhikku Dhaniya
yang membangun Pondok dan Tanah Liat itu berwarna merah, karena
berasal dari panggangan
sejenis serangga. Mengetahui hal
tersebut, Sang Buddha mengutuk perbuatan Bhikku Dhaniya. Seorang
pertapa harus melatih dirinya untuk menghargai kehidupan dalam
bentuk sekecil apa pun (Vinaya III, 41-42).
Dalam Vinaya (Peraturan Bhikkhu), sang Buddha
menetapkan bahwa seorang Bhikku
yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Ajaran
sang Buddha mengenai sikap menghormati dan tanpa
kekerasan, tidak hanya
berlaku pada semua
makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan. Sang
Buddha dan siswa - siswanya tidak
merusak biji-bijian dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan (Digha Nikaya 1,5). Di musim
hujan (Masa Vassa) para Bhikku tidak
melaksanakan perjalanan, untuk menghindari kemungkinan
akan menginjak tunas-tunas tanaman dan menggangu kehidupan
binatang-binatang kecil yang muncul setelah
hujan (Vinaya
1, 137).
Zaman kekacauan yang kita
alami saat ini, timbul mungkin disebabkan karena adanya krisis moral yang melanda dari sebagaian orang. Yang
pada akhirnya memunculkan
berbagai masalah kehidupan kita sendiri, yang mungkin pula berhubungan dengan
munculnya berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, gagal panen, kelaparan, munculnya
berbagai penyakit dan lain-lain.
Dalam perspektif agama Buddha, cerminan keadilan dan kebenaran
dari interaksi antar umat manusia, yang dapat terlihat
dari hubungan manusia dengan
lingkungan sekitarnya dan alam.
Alam yang bersahabat misalnya hujan yang turun pada waktu dan
panen berlimpah, kesejahteraan dan kedamaian menyatu bagaimana Pemerintah berlaku lurus dan adil, atau bagaimana masyarakat melaksanakan kebajikan. Tidak
hanya hutan yang bisa terbakar, manusia pun bisa terbakar. Buddha mengingatkan pada indra, perasaan
dan akal yang terbakar oleh hawa
nafsu (Vin 1, 34). Tidak heran, berbagai
fenomena alam sering dihubungkan dengan
suasana batin rakyat dan dijadikan pertanda dari kelangsungan suatu pemerintah.
Berdasarkan banyak pengamat, krisis ekologi tumbuh dari adanya revolusi industri
seperti yang terjadi di Inggris pada abad
ke-18. Revolusi industri
menyebabkan lahirnya kaum buruh yang hidup di lingkungan kumuh,
serta pencemaran komponen
dasar hidup manusia serta air,
udara, tanah dan ruang.
Sehubungan dengan itu, sering disebut-sebut para ahli bahwa yang menjadi sumber kerusakan
lingkungan, adalah karena adanya
pandangan hidup yang menempatkan alam
dalam sub- ordinasi di bawah
manusia. Manusia berkuasa atas bumi, sehingga menjadikannya bebas mengeksploitasi alam sesukanya.
Sang pangeran Sidharta menjadi Buddha setelah beliau bertapa di bawah
pohon Bodhi, dalam khotbahnya kita temui
ungkapan-ungkapan yang menyatakan keserasian
hubungan antara manusia dengan
alam dan lingkungannya. Manusia dan alam maupun lingkungannya saling tergantung satu sama lain. Ajaran Agama Buddha tidak menempatkan egoisme atau self interest bahwa manusia
terhadap alamnya. Alam adalah partner
dalam kehidupan kita yang harus kita jaga kelestariannya.
Seorang Buddhis meneladani sikap sang Buddha, bagaimana sang Buddha mengungkapkan rasa
terima kasihnya pada pohon Bodhi, tempat dimana
beliau duduk mencapai kesempurnaan,
dengan menatapnya berhari-hari
penuh cinta kasih dan rasa terima
kasih. Bahkan sang Buddha menjadikan pohon Bodhi sebagai alternative
pengganti
dirinya, bila umat ingin menyatakan rasa hormatnya.
Begitulah luhurnya Buddha Dharma, terhadap sebuah pohon pun kita mengakuinya dan menyebutkan sebagai pohon suci. Terhadap hal lainnya
di muka bumi ini pun, Sang Buddha juga menekankan untuk menjaga kelestariannya. Sang Buddha menjaga dan menghargai sesuatu yang dimanfaatkan oleh masyarakat umum dengan tidak merusak dan mengotorinya. Dalam hal ini Sang Buddha bersabda “Saya tidak akan buang air besar,
buang air kecil atau meludah
pada tanaman-tanaman hijau dan kedalaman
air yang digunakan untuk umum” (Vinaya
sekhiyavatta, 77, 75).
Selanjutnya, patron bagi Internasional
Network of Engaged Buddhist
ini
menyatakan bahwa alam adalah ibu sejati manusia. Bila pepohonan tidak dapat hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Kita sakit
sebab kita telah merusak lingkungan kita
sendiri, dan kita mengalami
penderitaan karena berada jauh dari ibu jari, yaitu ibu alam.
Artikel Terkait