Kalimat Bijak :

Saturday, July 13, 2013

Keteladanan dan menghargai kehidupan dalam pelestarian alam dan upaya perlindungan hutan

Pelestarian alam dan perlindungan hutan dalam perspektif agama Budha


KETELADANAN DAN MENGHARGAI KEHIDUPAN DALAM PELESTARIAN ALAM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HUTAN


Sang  Buddha  mengajarkan  agar  setiap  Bhikkhu  dan  para pengikutnya untuk menghargai kehidupan dalam bentuk sekecil apa pun. Diriwayatkan : Bhikku Dhaniya yang membangun Pondok dan Tanah Liat itu berwarna merah, karena berasal dari panggangan sejenis serangga. Mengetahui hal tersebut, Sang Buddha mengutuk perbuatan Bhikku Dhaniya. Seorang pertapa harus melatih dirinya untuk menghargai kehidupan dalam bentuk sekecil apa pun (Vinaya III, 41-42).

Dalam Vinaya (Peraturan Bhikkhu), sang Buddha menetapkan bahwa seorang Bhikku yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Ajaran sang Buddha mengenai sikap menghormati dan tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku pada semua makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan. Sang Buddha  dan  siswa - siswanya  tidak  merusak  biji-bijian dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan (Digha Nikaya 1,5). Di musim hujan (Masa Vassa) para Bhikku tidak melaksanakan perjalanan, untuk menghindari kemungkinan akan menginjak tunas-tunas tanaman dan menggangu kehidupan binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vinaya 1, 137).

Zaman kekacauan yang kita alami saat ini, timbul mungkin disebabkan karena adanya krisis moral yang melanda dari sebagaian orang. Yang pada akhirnya memunculkan berbagai masalah kehidupan kita sendiri, yang mungkin pula berhubungan dengan munculnya berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, gagal panen, kelaparan, munculnya berbagai penyakit dan lain-lain. Dalam perspektif agama Buddha, cerminan keadilan dan kebenaran dari interaksi antar umat manusia, yang dapat terlihat dari hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya dan alam.

Alam yang bersahabat misalnya hujan yang turun pada waktu dan panen berlimpah, kesejahteraan dan kedamaian menyatu bagaimana Pemerintah berlaku lurus dan adil, atau bagaimana masyarakat melaksanakan kebajikan. Tidak hanya hutan yang bisa terbakar, manusia pun bisa terbakar. Buddha mengingatkan pada indra, perasaan dan akal yang terbakar oleh hawa nafsu (Vin 1, 34). Tidak heran, berbagai fenomena alam sering dihubungkan dengan suasana batin rakyat dan dijadikan pertanda dari kelangsungan suatu pemerintah.

Berdasarkan banyak pengamat, krisis ekologi tumbuh dari adanya revolusi industri seperti yang terjadi di Inggris pada abad ke-18. Revolusi industri menyebabkan lahirnya kaum buruh yang hidup di lingkungan kumuh, serta pencemaran komponen dasar hidup manusia serta air, udara, tanah dan ruang.

Sehubungan dengan itu, sering disebut-sebut para ahli bahwa yang menjadi sumber kerusakan lingkungan, adalah karena adanya pandangan hidup yang menempatkan alam dalam sub- ordinasi di bawah manusia. Manusia berkuasa atas bumi, sehingga menjadikannya bebas mengeksploitasi alam sesukanya.

Sang pangeran Sidharta menjadi Buddha setelah beliau bertapa di bawah pohon Bodhi, dalam khotbahnya kita temui ungkapan-ungkapan yang menyatakan keserasian hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Manusia dan alam maupun lingkungannya saling tergantung satu sama lain. Ajaran Agama Buddha tidak menempatkan egoisme atau self interest bahwa manusia terhadap alamnya. Alam adalah partner dalam kehidupan kita yang harus kita jaga kelestariannya.

Seorang Buddhis meneladani sikap sang Buddha, bagaimana sang Buddha mengungkapkan rasa terima kasihnya pada pohon Bodhi, tempat dimana beliau duduk mencapai kesempurnaan, dengan menatapnya berhari-hari penuh cinta kasih dan rasa terima kasih. Bahkan sang Buddha menjadikan pohon Bodhi sebagai alternative pengganti dirinya, bila umat ingin menyatakan rasa hormatnya. Begitulah luhurnya Buddha Dharma, terhadap sebuah pohon pun kita mengakuinya dan menyebutkan sebagai pohon suci. Terhadap hal lainnya di muka bumi ini pun, Sang Buddha juga menekankan untuk menjaga kelestariannya. Sang Buddha menjaga dan menghargai sesuatu yang dimanfaatkan oleh masyarakat umum dengan tidak merusak dan mengotorinya. Dalam hal ini Sang Buddha bersabda “Saya tidak akan buang air besar, buang air kecil atau meludah pada tanaman-tanaman hijau dan kedalaman air yang digunakan untuk umum” (Vinaya sekhiyavatta, 77, 75).

Selanjutnya, patron bagi Internasional Network of Engaged Buddhist ini menyatakan bahwa alam adalah ibu sejati manusia. Bila pepohonan tidak dapat hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Kita sakit sebab kita telah merusak lingkungan kita sendiri, dan kita mengalami penderitaan karena berada jauh dari ibu jari, yaitu ibu alam.




Artikel Terkait