Kalimat Bijak :

Saturday, July 13, 2013

Nilai dan pandangan hidup Buddhis

Pelestarian alam dan perlindungan hutan dalam perspektif agama Budha


NILAI DAN PANDANGAN HIDUP BUDDHIS


Pandangan Buddhis mengenai ekologi, tercermin dari ayat suci Dhammapada yang berbunyi sebagai berikut: “Bagaikan seekor lebah mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya, demikian hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa” (Dhammapada ayat 49). Dalam sebuah ekosistem, lebih diharapkan tidak hanya mengambil keuntungan dari bunga semata untuk kepentingan diri sendiri. Perilaku lebah ini memberikan inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan sumberdaya alam yang terbatas. Kita harus bisa memanfaatkan sumberdaya alam untuk menunjang kehidupan kita, dan kita juga harus bisa menjaga kelangsungan hidup mereka.

Dalam pandangan tertentu kita membedakan sesuatu yang hidup dari benda mati, tetapi menurut prinsip kesaling ketergantungan sesuatu yang hidup itu mengandung unsur-unsur yang tidak hidup. Manusia hidup juga tidak bisa terlepas dari benda mati. Kita memerlukan air, udara, kayu yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hutan dan alam dan masih banyak hal lain yang kita butuhkan yang dapat menunjang kelangsungan hidup kita. Dengan meneliti ke dalam diri sendiri, kita akan melihat bahwa kita memerlukan dan memiliki mineral atau unsur organik lainnya. Manusia adalah bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam semesta. Kita muncul, hidup dan berkembang tidak terlepas dari campur tangan alam, berhubungan dengan alam dan akan kembali ke alam.

Sikap seseorang yang terpusat pada diri sendiri dan berpandangan bahwa apa yang ada di dunia ini untuk dirinya, sehingga ia dapat berbuat semaunya sendiri tanpa perhitungan ternyata tidaklah membuat hidupnya lebih baik. Individualisme dan kapitalisme membayar kemajuan duniawinya dengan permasalahan lingkungan.  Lingkungan  hidup  menjadi  tidak  terpelihara,  rusak dan  justru  mengancam  kehidupan  manusia  itu  sendiri.  Hal  ini terjadi karena kehidupan non-materi atau kemajuan rohani tidak memperoleh tempat yang tepat. Falsafah hidup budhis menghendaki keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan spiritual. Dalam stta, sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat makan (Digha Nikaya III, 75).





Artikel Terkait