Pelestarian alam dan perlindungan hutan dalam perspektif agama Budha
NILAI DAN PANDANGAN HIDUP BUDDHIS
Pandangan Buddhis mengenai ekologi, tercermin dari ayat suci Dhammapada yang berbunyi sebagai berikut: “Bagaikan seekor lebah mengumpulkan madu dari bunga-bunga
tanpa merusak warna maupun baunya, demikian hendaknya orang bijaksana
mengembara dari desa ke desa” (Dhammapada ayat 49). Dalam sebuah ekosistem,
lebih diharapkan tidak hanya mengambil keuntungan
dari bunga semata untuk kepentingan diri sendiri. Perilaku lebah ini memberikan
inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan
sumberdaya alam yang terbatas. Kita harus bisa memanfaatkan sumberdaya alam untuk menunjang kehidupan kita, dan kita juga harus bisa
menjaga kelangsungan hidup
mereka.
Dalam pandangan tertentu kita membedakan sesuatu yang hidup dari benda mati, tetapi menurut
prinsip kesaling ketergantungan sesuatu yang hidup itu mengandung unsur-unsur yang tidak hidup.
Manusia hidup juga tidak bisa terlepas dari benda mati. Kita memerlukan air, udara, kayu yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan, hutan dan alam dan masih banyak hal lain yang kita butuhkan yang dapat menunjang
kelangsungan hidup kita. Dengan meneliti
ke
dalam diri sendiri, kita akan melihat bahwa kita memerlukan
dan memiliki mineral atau unsur organik
lainnya. Manusia adalah bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam semesta. Kita muncul, hidup dan berkembang tidak terlepas dari campur tangan
alam, berhubungan dengan alam dan akan kembali ke
alam.
Sikap seseorang yang terpusat pada diri sendiri dan berpandangan bahwa
apa yang ada di dunia ini untuk dirinya, sehingga
ia dapat berbuat semaunya sendiri tanpa perhitungan ternyata tidaklah
membuat hidupnya lebih baik. Individualisme dan kapitalisme membayar kemajuan duniawinya dengan
permasalahan lingkungan.
Lingkungan hidup
menjadi tidak terpelihara, rusak
dan justru mengancam
kehidupan manusia itu
sendiri. Hal ini terjadi karena kehidupan
non-materi atau kemajuan rohani tidak memperoleh tempat yang tepat. Falsafah
hidup budhis menghendaki keseimbangan antara
pemenuhan kepentingan materi dan spiritual. Dalam stta,
sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan
hidup manusia meningkat, manusia masih dapat makan (Digha Nikaya III, 75).
Artikel Terkait